Assalammualikum WR WB
“Didalam satu kelas standart anak sekolahan berisi 32 murid, artinya ada 32 murid yang memiliki konsepsi kebahagian yang berbeda-beda”
Penyampaian Aspirasi Ala Mahasiswa: Beda Cara, Satu Tujuan
Tidak perlu bertanya lagi apakah semua siswanya memiliki taste untuk membuat perubahan. Kebanyakan yang terjadi hanya mayoritas saja yang memiliki semangat sebagai agent of change. Yang lainnya bagaimana? Biasa dibilang terjebak dengan hagemoni hedonisme, apatisme serta individualisme.
Penyampaian aspirasi merupakan wujud dari rasa keperihatinan pada kondisi bangsa ini. Keprihatinan pada kebijakan yang terasa tidak memihak kepentingan rakyat banyak. Wujud rasa kesal karena melihat keadilan yang seakan sulit ditegakkan, terutama keadilan untuk rakyat kecil.
Porsi menyampaikan aspirasi yang biasa didengungkan pemuda melalui kata-kata “we not talk about a change, but we can make a change.” Suatu kata yang memiliki power sehingga pemuda dapat tergugah hatinya dengan sesegera mungkin untuk dapat menjawab tantangan dalam melakukan perubahan.
Lucunya kata-kata tersebut sering digunakan untuk mengejudge sesame pemuda. Dalam menyuarakan pasti ada yang melakukan orasi, menjahit mulut bahkan hingga bakar diri. Hal ini sering mendapat label NATO (not action talk only). Tapi jika diliat kadar kasusnya tentu berbeda ketika menganalogikan sungai yang kotor dengan lahan petani yang rebut untuk dijadikan tambang. Sungai bisa dibersihkan. Lahan petani yang direbut? Apakah kita seperti sesosok malailat penolong yang memberi ganti rugi kepada petani agar mereka dapat bertani lagi? Tentu kurang bijak.
Terkait masalah penyampaian aspirasi yang marak akhir-akhir ini dengan jahit mulut, orasi dan bakar diri. Bartanius Doni, Mahasiswa Ilmu Jurnalistik IISIP Jakarta mengatakan “mereka udah terlalu capek liat Negara serta emosinya terlalu meluap, makanya ngelakuin hal gitu. disatu sisi gue salut karena mereka mau jahit mulut dalam arti mereka mau jadi korban agar evolusi. disatu sisi gue bilang itu konyol.haha. Kalau yang bakar diri, gue bilang itu ga 100% masalah negara, pasti ada masalah pribadi juga.”
Merefleksikan berbagai penyelesaian kasus-kasus di Indonesia yang sudah ada, ia menambahkan “cara lain pasti ada. kaya perundingan antara aktivis sama yang punya perusahaan atau sama pemerintah. tapi yang namanya perundingan, ga semua tuntutan aktivis terpenuhi,pasti ada beberapa yang ga sejalan sama pemilik perusahaan. kalau gue liat dari kenyataan di indonesia, pemerintah bakal merealisasikan tuntutan rakyat kalo ada sesuatu gerakan yg ‘Radikal’.” Tambahnya.
Berbanding terbalik dengan pernyataan Dony, Idea Pratiwi yang juga berstatus mahasiswa beda kampus, mengemukakan “Kalau menyuarakan kan bukan berarti memberi ide, sedangkan menggagas itu memberi ide.. Kalo ga ada ide, apa yg mau disuarakan?
“Kebanyakan hanya cendrung menyuarakan permasalahan tanpa memberikan gagasan yang berarti buat Indonesia kedepan.” Tutur Mahasiswa Universitas Padjajaran (UNPAD) yang akrab disapa Dea.
Meskipun berbeda pandangan, namun harus diakui tujuan dari masing-masing individu sangat mulia. Harapan demi harapan untuk Indonesia lebih baik dan lebih memihak kepada rakyat kecil menjadi suatu tujuan yang pasti. Dengan kata lain tujuannya sama hanya cara atau langkah yang ditempuh berbeda.
Pemuda sejatinya memang ada dua, pemuda yang menyuarakan dan pemuda menggagas perubahan. Bagaimana pun cara mereka. Langkah bijaknya dengan menghargai apapun upaya yang mereka lakukan. Lebih baik lagi mengambil dua-duanya, menyuarakan dan menggagas perubahan. Niscaya perjuangan akan secara maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar