Selasa, Desember 25, 2012

Rahasia Cara Kerja Gigolo Untuk Menggaet dan Menjadi Peliharaan Wanita Kaya dan Cantik

Assalammualikum WR WB

Rahasia Cara Kerja Gigolo Untuk Menggaet dan Menjadi Peliharaan Wanita Kaya dan Cantik

Polrestabes Surabaya mengungkap praktik bisnis seks yang melibatkan anak di bawah umur sebagai gigolo atau lelaki pekerja seks komersial (PSK). Di Surabaya, selain ada gigolo yang dikoordinasi germo, juga ada yang beroperasi mandiri. 
Seperti dalam dunia kerja, di kalangan gigolo ada juga istilah naik pangkat. Setidaknya itulah yang dipahami Andi (27), seorang gigolo mandiri. Berawal sebagai gigolo panggilan atau freelance, kini Andi sudah ‘naik pangkat’ menjadi gigolo yang sudah dipelihara oleh seorang wanita yang jadi pelanggan setianya.
Beda gigolo freelance dan peliharaan adalah pada sifat penghasilannya. Gigolo peliharaan mendapatkan `gaji` rutin, sedangkan penghasilan gigolo freelance tidak menentu, tergantung naik-turun jumlah penggunanya.
 
Menurut Andi yang lulusan SMA, mengikat pelanggan bukanlah perkara mudah bagi gigolo. Karena jumlah tante-tante girang yang jadi konsumen tidak banyak di Surabaya, maka para gigolo harus pandai-pandai mempromosikan diri.
Andi berbeda dengan Muhlisin (27), gigolo yang merangkap germo yang telah ditangkap aparat Polrestabes Surabaya pada 26 November lalu. Karena mempekerjakan gigolo di bawah umur, Muhlisin dianggap melakukan perdagangan anak (human trafficking) dan diciduk.
Muhlisin tidak pilih-pilih sasaran, dan bahkan mengiklankan jasanya secara terbuka di surat kabar. Asalkan ada yang berminat terhadapnya dan harga sesuai, dia dan anak buahnya siap melayani, termasuk melayani para gay (lelaki yang tertarik pada sesama lelaki).
Gigolo seperti Muhlisin ini adalah gigolo jenis pencari makan. Ia tak banyak pilah-pilih pengguna, yang penting dapat duit, selesai. Unsur `cita rasa` (taste) menjadi nomor dua.
Biasanya Muhlisin menyepakati tarif di depan. “Tapi, kalau pelanggan merasa puas, biasanya bayarannya dilebihkan,” kata Muhlisin.
Andi, dalam hal ini, beruntung. Pekerjaan resminya sebagai staf bagian public relations (PR) di sebuah apartemen mewah di Surabaya membuat Andi mengenal banyak warga kelas atas di sini, serta cukup memahami gaya hidup mereka.
“Ternyata, banyak orang berduit yang hidupnya kesepian, tak hanya kaum pria tapi juga perempuan,” tutur Andi.
Entah bagaimana belajarnya, Andi mengaku bisa membedakan mana perempuan yang kesepian dan `miskin kasih sayang`, serta mana yang tidak.
Bertinggi badan sekitar 172 cm dan berat 66 kg, postur tubuh Andi memang terlihat cukup ideal. Dengan penguasaan teknik pemasaran dan komunikasi sebagai seorang PR, Andi akhirnya mampu memikat seorang wanita karir yang menjadi pejabat di sebuah bank swasta nasional besar.
Sebelum bertemu wanita berusia 35 tahun itu, Andi hanyalah gigolo freelance. Namun sejak 8 bulan lalu, Andi `naik pangkat` menjadi gigolo peliharaan wanita yang sudah memiliki suami dan anak itu.
“Dia wanita yang cantik dan saya suka. Dia tidak pelit untuk memenuhi apa yang saya minta,” aku Andi yang sebetulnya juga sudah beristri dan beranak satu.
Untuk ‘pangkat’ yang baru ini, Andi mendapatkan penghasilan rutin setidaknya Rp 3 juta per bulan. Nilai ini lebih besar dari penghasilannya selama sebulan sebagai karyawan PR.
`Gaji` rutin itu masih ditambah bonus setiap kali sang tante merasa senang dengan servis seksnya. Tak jarang, tante tersebut juga membelikannya barang. Pokoknya, soal duit, bagi gigolo peliharaan seperti Andi, hal itu sudah urusan kedua. Tinggal telepon sang tante, Andi sudah bisa mendapatkan uang dengan mudah darinya.
“Sebagai balasan, saya harus siap untuk diajak. Bisa di rumahnya, bisa juga di hotel berbintang,” ungkapnya. Dari tampilannya, Andi bisa dibilang seperti pria metroseksual. Aroma badannya wangi dan kulitnya bersih. Selain bersolek, Andi juga secara rutin mengikuti latihan fitness untuk menjaga bentuk tubuhnya yang sebetulnya sudah terbilang cukup ideal.
“Kalau tidak six pack (perut berotot sehingga membentuk bidang-bidang berjumlah enam, red) seperti ini, ya saya tidak laku Mas,” ujarnya sembari menyingkap bajunya, menunjukkan otot perut. Perawatan tubuh yang dilakukan Andi ini semakin mempertegas segmen wanita apa yang dibidiknya. Untuk sekali perawatan, Andi bisa berjam-jam di salon langganannya. Namun, Andi memiliki target untuk tidak menjadi peliharaan selama tahunan.
“Sembilan bulan jadi peliharaan sudah cukup. Ini agar tidak ada kejenuhan yang berujung pada keteledoran dalam menjaga kerahasiaan hubungan,” ucapnya.

Mengapa Anak Menggigit Kuku, Memelintir Rambut, atau Mengisap Jempol?

Assalammualikum WR WB

Anak

Mengapa Anak Menggigit Kuku, Memelintir Rambut, atau Mengisap Jempol?

Sedot jempol
Ilustrasi
Tak sedikit anak memiliki kebiasaan yang sebenarnya mengganggu. Berikut bahasan 4 kebiasaan buruk anak yang kerap dikeluhkan para orangtua. Diantaranya, menggigiti kuku, mengisap jempol, memelintir rambut dan mengorek hidung.
Pahami Apa Kebiasaan Itu
Tetaplah tenang kendati tahu, anak memiliki kebiasaan buruk yang mengganggu. Dalam banyak kasus, kebiasaan hanyalah satu fase normal dari proses perkembangan.
Kebiasaan sendiri merupakan satu atau dua pola perilaku yang berulang dan seseorang yang melakukannya biasanya tidak menyadarinya.  Dan anak-anak juga tak menyadari memiliki kebiasaan yang membuat kesal orangtuanya.
Ketika tiba-tiba Anda menemukan anak balita  senang  mengisap jempol dan memelintir rambut, jangan dulu terkejut. Kebiasaan memang cenderung muncul dalam kelompok usia tertentu.
Menggigiti Kuku
Jika kebiasaan anak menggigiti kuku adalah permasalahan inti yang akrab bagi Anda, ingat-ingat, Anda tak sendiri. Salah satu dari kebiasaan buruk di masa kecil adalah gigit kuku dan mengorek hidung.
Sebuah penelitian memperkirakan sekitar 30% hingga 60% anak-anak dan remaja mengunyah satu atau lebih kuku tangannya. Dan biasanya, kuku ibu jari menjadi sasaran kebiasaan ini.
Anak laki-laki dan perempuan, memiliki peluang yang sama akan kebiasaan ini di usia balita mereka. Kendati, seiring mereka beranjak dewasa, anak laki-laki cenderung tetap memiliki kebiasaan menggigit kuku.
Memelintir Rambut
Apakah Anda memiliki anak perempuan yang suka memelintir atau mengeriting rambut? Ya, kebiasaan  anak yang suka  memelintir, membelai, atau menariki rambut biasanya terjadi pada anak perempuan.
Memelintir rambut dapat mulai terjadi pada masa awal kanak-kanak dan dapat berkembang menjadi kebiasaan menariki rambut (merontoki rambut) kendati tidak memiliki masalah rambut rontok.  Namun kebanyakan anak-anak ini berhenti memelintir ataupun menarik rambut ketika telah beranjak dewasa.
Bagi mereka yang masih memiliki kebiasaan ini,  masih ada cara memperbaikinya. Tawarkan sebuah perilaku modifikasi sederhana yang dapat membuat mereka lupa akan kebiasaannya.
Selain menjadi kebiasaan buruk, menarik atau memelintir rambut pada anak atau remaja dapat menjadi pertanda mereka mengalami kecemasan, depresi, atau OCD (obsessive-compulsive dissorder) yang akan lebih sulit disembuhkan.
Mengorek Hidung
Mengorek hidung adalah sebuah kebiasaan buruk yang dapat dimulai sejak kanak-kanak hingga dewasa. Sebuah penelitian di tahun 1995 menemukan jika 91% orang dewasa memiliki kebiasaan mengorek hidung secara reguler dan sekitar 8% memakan kotoran hidung setelah mengoreknya.
Mengisap Jempol
Popularitas ibu jari atau jempol  sebagai isapan jari  ketimbang telunjuk, bisa jadi karena jempol memiliki rasa yang lebih enak ketimbang jari lainnya. Namun preferensi ibu jari ini merupakan pilihan tak sengaja, yang dihasilkan dari kenangan kontak mulut pertama ibu jari dengan mulut sejak masih bayi. Kebanyakan pengisap jempol adalah anak-anak kecil.
Beberapa anak juga mengisap jari, tangan atau  bahkan seluruh kepalan tangan  selain ibujari.  Faktanya,  seperempat hingga setengah dari anak berusia 2 hingga 4 tahun mengisap jempol. Dan, kebanyakan mereka mengisap jempol untuk menenangkan dan mendapatkan kenyamanan dirinya. Tapi intensitas atau seringnya mengisap jempol pada anak usia 4 hingga 5 tahun dapat menyebabkan masalah, termasuk masalah gigi (overbite ), infeksi ibu jari atau jari, juga menjadi masalah pergaulan karena kerap digoda teman seusia.
Apa Penyebabnya?
Mengapa anak kerap menganggap jari menjadi bagian dari mulutnya dan mengapa mereka kerap memelintiri rambut. Banyak ahli mengakui, mereka kerap tak yakin apa penyebab pasti dari kebiasaan-kebiasaan ini. Namun bisa jadi ini merupakan kebiasaan yang dipelajari dan memberi hal yang lebih bagi anak.
Kebiasaan  dapat berkembang lebih potensial pada anak-anak yang kebosanan atau bisa jadi ini merupan cara anak mengatasi kecemasan. Lain waktu jika Anda melihat anak menggigiti kuku atau memelintir rambut (juga merontoki rambutnya sendiri), bisa jadi ini karena ada pengalaman yang membuatnya stres.
Di lain hal, beberapa anak kerap menganggap kebiasaan-kebiasaan ini sebagai cara relaksasi. Biasanya untuk menemukan suasana sebelum tidur.  Namun beberapa kebiasaan juga bisa merupakan warisan kebiasaan sejak bayi. Bagi bayi, mengisap jempol adalah cara menemukan kenyamanan diri yang diasosiasika mirip dengan kenikmatan mendapatkan ASI yang dapat membuatnya kenyang. Jadi ini dapat bertahan di kemudian hari karena ada asosiasi positif yang tertanam dalam benak mereka.
Coba Atasi  dari Anda
Bisa jadi jalan kebiasaan menggigiti kuku ini didapat dari cerminan Anda. Apakah Anda kerap menggigiti kuku?
Penelitian menunjukkan jika penggigit kuku memiliki komponen genetik atau kaitan kekeluargaan.
Beberapa anak juga dapat mengembangkan kebiasaan buruk untuk menarik perhatian orang dewasa atau mencoba memanipulasi orangtua nya. Jika anak-anak kerap diabaikan, mereka akan melakukan kebiasaan buruk yang mereka tahu akan memancing reaksi ayah dan ibunya.
Sebuah kabar baik, kebanyakan kebiasaan buruk ini akan menghilang sendiri, biasanya ketika anak mencapai usia sekolah. Karena kebanyakan sudah memahami tak lagi memerlukan kebiasaan ini untuk memberi mereka kenyamanan atau perhatian.
Namun jika kebiasaan buruk ini tak hilang saat mereka beranjak dewasa dan melebihi usia sekolah, cobalah konsultasikan pada psikolog untuk mendapatkan bantuan terapi behavioral
.

Cara Membuat Orang Menjadi Rajin

Assalammualikum WR WB

Cara Membuat Orang Menjadi Rajin

Salah satu masalah yang sering kita hadapi saat memperkerjakan orang lain adalah saat pekerja kita malas atau melakukan banyak kesalahan..
Entah itu Karyawan di Usaha kita..
Entah itu ART di rumah kita..
atau malah anak-anak kita dirumah yang kita beri tugas mengerjakan sesuatu..
Bagaimana cara terbaik untuk menyikapinya?
Akankah kita marah-marah, mengkritik, bahkan menghukum mereka?
Charles Schwab yang menjadi Presiden Direktur di umur 38 tahun dan mendapat Gaji pertahun yang setara dengan 1Milyar dolar atau 9 Trilyun Rupiah saat ini, mengajarkan suatu teknik yang ampuh untuk menangani masalah ini..
Schwab TIDAK PERNAH mengkritik karyawannya yang malas bekerja atau berbuat salah..
Menurut Charles Schwab, kritik dari atasan hanya akan menurunkan semangat kerja dan ambisi karyawan..
Alih-alih mengkritik saat karyawan berbuat salah, Schwab lebih memilih memuji hal baik yang dilakukan karyawan..
Ketika ada hal atau pekerjaan baik yang dilakukan karyawan, Schwab segera memuji dengan tulus di depan karyawan lain..
Perasaan penting yang dihasilkan dari pujian ini, akan membuat karyawan itu menginginkan lagi pujian yang sama..
Akibatnya, lama kelamaan perbuatan baik yang dilakukan karyawan tadi akan menjadi kebiasaan yang dilakukannya..
“Semua orang suka pujian” begitu kata Abraham Lincoln..
Kenapa kita tidak memanfaatkan saja psikologi ini untuk mengubah karyawan kita?
Perbanyak Menghargai..
Kurangi Mengkritik..

Jika Kakak Adik Bertengkar Terus Jumat, 22 Januari 2010 K alau disikapi dengan cara yang tepat, si kecil justru belajar banyak dari pertengkaran dengan saudaranya. Anak balita juga sering berbeda pendapat, berbeda pandangan, dan berbeda pemahaman dengan saudaranya. Baik sang kakak, maupun adik. Tidak heran kalau ia sepertinya senang mengajak bertengkar. Apalagi sifat mau menang sendirinya masih kuat sehingga sulit diberi pengertian. Pertengkaran ini dipengaruhi pula oleh kondisi emosi anak saat itu. Jika sedang kesal, capek, kecewa, dia jadi agak sensitif. Kesenggol sedikit saja tubuhnya bisa membuat si kecil marah. Bisa juga ketika si kakak bermaksud membenahi mainan si adik, tiba-tiba si adik marah karena menganggap kakak mengambil mainannya. Akhirnya bertengkarlah mereka. Selain itu, bertengkar bisa merupakan salah satu cara anak prasekolah mencari perhatian. Tiba-tiba saja ia mengganggu kakaknya yang tengah asyik bermain dengan merecokinya. Si kakak pun jadi marah dan orangtua datang melerai. Dua reaksi tersebut dianggap sebagai perhatian terhadap dirinya. CARA TEPAT MENYIKAPI Pertengkaran antarsaudara tentu saja harus disikapi dengan tepat agar anak-anak dapat menarik pelajaran dari pertengkaran ini. Jadi, kehadiran orangtua bukan semata-mata bertujuan meredakan kegaduhan atau malah balik memarahi anak. Salah penanganan, anak akan berkembang menjadi pribadi yang lemah, tidak punya keberanian, tidak bisa membuat keputusan sendiri, mudah terpengaruh lingkungan, labil, dan kurang percaya diri. Nah, seperti apa menyikapi pertengkaran anak dengan cara yang tepat itu? Inilah langkah-langkahnya: 1. Tidak terpancing emosi. Siapa tahu memang tujuan si anak adalah memancing emosi orangtua, karena itu bersikaplah tenang. Jika sedang membaca buku ya teruskan saja membacanya, sambil tetap "buka mata dan pasang telinga lebar-lebar" alias tetap melakukan pengawasan. Sembunyikan rasa kesal dan emosi yang akan muncul, apalagi jika dalam kondisi capek. Begitu pun pada pengasuh di rumah, mintalah bersikap tenang dan tak terpancing emosi kala anak-anak sedang bertengkar. Berpikirlah bahwa mereka tengah belajar menyelesaikan konfliknya. 2. Leraikan/pisahkan anak jika terjadi kekerasan. Bila pertengkarannya sampai pukul-memukul atau saling jambak rambut dan kekerasan lainnya, segera pisahkan keduanya. Tapi kalau bertengkarnya hanya sekadar debat mulut, orangtua cukup mengawasi dengan tetap diam. Biasanya jika orangtua diam atau tak bersikap berlebihan, pertengkaran tersebut akan berhenti dengan sendirinya. Setelah selesai bertengkar barulah dibahas bersama masalah bertengkarnya tadi. 3. Ajak bicara anak. Setelah anak dileraikan atau bisa juga ketika si anak sudah selesai bertengkarnya dan agak tenang, minta masing- asing untuk duduk dan bicara di antara mereka tentang apa yang jadi masalah atau penyebabnya. Lakukan dialog. Contoh: Orangtua: ”Kenapa sih, kalian bertengkar terus, kepala Mama jadi pusing nih.“ Misalnya si kakak mengatakan: ”Iya, Ma tadi Adek duluan yang jadi gara-garanya.” Orangtua: “Mama tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Mama juga enggak tahu masalahnya apa. Nah, sekarang coba kalian berdua bicaranya bergantian, tidak pakai pukul-pukulan.” Di sini orangtua bersikap sebagai wasit yang hanya mengawasi dan membantu mengarahkan saja bagaimana kedua anak membahas masalah pertengkaran mereka. 4. Tidak mengintervensi. Ketika anak bertengkar, orangtua jangan mengintervensi seperti, ”Sudah! Bisa diam enggak kalian?! Ayo, Adek minta maaf sama Kakak, dan Kakak ngalah sama adiknya!” Atau, misalnya si adik mengatakan, ”Kakak sih yang begitu, Ma,” orangtua jangan lantas mengintervensi dengan menegur si kakak, ”Kenapa sih, Kak? Kamu apakan adiknya?” Hindari intervensi semacam ini karena orangtua belum tahu masalahnya. Jika orangtua selalu mengintervensi, berusaha mendamaikan anak, menentukan yang salah dan yang benar, membuatkan keputusan, maka anak takkan belajar untuk mencari jalan keluar dari konflik yang dihadapinya, juga tidak belajar mengambil keputusan sendiri. Jadi, biarkan saja anak saling mengungkapkan pendapatnya dan memperdebatkannya. 5. Beri arah dan penguatan untuk solusinya. Selama antaranak mendebatkan masalahnya, orangtua tetap membantu memberikan arahan akan keputusan dari penyelesaian konfliknya. “Jadi, sekarang kalian sudah mengerti kan masalahnya. Nah, menurut kalian, sekarang masing-masing harus bagaimana?” Bisa saja si kakak mengatakan, ”Adek harus minta maaf sama aku.” Bila si adik setuju untuk minta maaf, tentu tak jadi soal. Tapi bagaimana kalau anak tak mau minta maaf karena mungkin ada rasa enggan atau gengsi melakukannya? Orangtua bisa mengatakan, “Kenapa Adek enggak mau minta maaf? Adek merasa malu ya? Enggak apa-apa kok, Dek. Kalau kita bersalah, kita memang harus minta maaf.” Jadi, orangtua sebatas memberikan penjelasan dan mengarahkan saja agar anak mau minta maaf tanpa ikut menentukan. Biarkan anak yang menentukan apa yang mau dia lakukan. Jika anak tetap tak mau melakukannya tak masalah. Jangan dipaksakan karena anak nanti melakukannya bukan atas dasar kesadaran dirinya atau keputusannya sendiri melainkan karena rasa terpaksa. “Oke, jika itu pilihanmu, ya. Tapi sekarang sudah berbaikan dan bisa main bersama lagi, kan?” Biasanya setelah itu pun anak akan kembali main bersama dan lupa dengan pertengkaran yang terjadi. Untuk hal minta maaf ini sebaiknya orangtua dalam kesehari-harian menjadikan dirinya contoh bagi anak. Ketika orangtua melakukan kesalahan pada anak hendaknya tak segan-segan untuk meminta maaf pada anak. Dengan begitu, anak pun akan mudah meminta maaf jika ia melakukan suatu kesalahan. TANGANI KONFLIK Bila anak kerap bertengkar dan orangtua menyikapinya dengan langkah-langkah di atas secara konsisten, maka anak pun lama-lama akan belajar menyelesaikan konflik yang ada. Efek selanjutnya, pertengkaran yang kerap muncul lama-lama akan berkurang dan anak menemukan alternatif penyelesaian masalah tanpa bertengkar. Anak usia prasekolah bisa kok dilatih cara seperti ini. Jadi, apabila pertengkaran anak disikapi dengan cara yang tepat, justru akan menjadi suatu pembelajaran bagi anak. Ketahuilah, bertengkar sebetulnya merupakan tingkat sosialisasi tertinggi antarsaudara. Mengapa? Karena merupakan proses saling mengenal dan memahami pribadi masing-masing. Mereka belajar untuk saling tahu kelemahan dan kekuatan masing-masing, sikap-sikap seperti apa yang disukai dan tidak dari saudaranya, dan lain sebagainya. Maka itu, kakak-adik yang ketika kecil sering bertengkar, biasanya saat dewasa memungkinkan hubungan mereka terjalin baik karena masing-masing sudah saling mengenal sifat dan perilakunya. Jadi, melalui bertengkar, anak belajar mengenal dirinya dan saudaranya. Melalui bertengkar, anak juga belajar menyelesaikan masalah. Ingatlah, pertengkaran antarsaudara pada dasarnya merupakan masalah anak, bukan masalah orangtua. Itulah mengapa, ketika anak bertengkar, orangtua dianjurkan tidak ikut campur ataupun intervensi. Orangtua hanya membantu mengarahkan anak untuk mengatasi konflik yang terjadi dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Di sini anak belajar bagaimana caranya menyelesaikan masalah saat terjadi konflik. Pembelajaran ini merupakan suatu keterampilan sosial yang berguna bagi anak saat dewasa nanti. Jika ia berselisih paham dengan orang lain, ia akan tahu harus bersikap bagaimana dan mencari jalan keluar yang seperti apa. Selain itu, dengan bertengkar, anak pun belajar mengendalikan diri. Yakni ketika orangtua memberikan contoh dengan bersikap tenang tanpa terpancing emosi saat anak-anaknya bertengkar. Orangtua meredakan pertengkaran anak-anaknya dengan mengajak mereka duduk untuk bicara. Di sini anak belajar bagaimana caranya mengendalikan diri dan mengelola emosinya. Anak diajarkan cara mengatasi konflik dengan cara lain tanpa kekerasan maupun kekuasaan. Nah, bagaimana, Bu? Mudah-mudahan tidak pusing dan bingung lagi kalau si kecil bertengkar dengan saudaranya! BERTENGKAR DENGAN TEMAN Selain bertengkar dengan saudara, anak pun bisa bertengkar dengan teman, baik di lingkungan rumah maupun sekolah. Pada pertengkaran anak dengan temannya, orangtua harus selalu ingat bahwa yang bermasalah adalah si anak dengan temannya. Jadi, orangtua tidak boleh intervensi maupun turut campur. Jika sampai ikut campur biasanya urusan akan bertambah runyam. Contoh, Anton bertengkar dengan temannya, Todi, lalu orangtua Anton berkata kepada Todi, ”Kamu jangan berantem sama anak Tante, dong. Kan kasihan tuh, anak Tante hidungnya jadi berdarah.” Ketika Todi pulang ke rumahnya, dia mungkin akan mengatakan pada ibunya, ”Ma, aku tadi dimarahi sama mamanya Anton.” Bisa saja orangtua Todi tidak terima, lalu mendatangi orangtua Anton, sehingga akhirnya terjadilah pertengkaran antarorangtua. Tentunya ini akan menjadi contoh jelek bagi anak. Bila saat kejadian anak bertengkar dengan temannya, orangtua tidak melihatnya, maka untuk membantu anak menyelesaikan konfliknya orangtua bisa menggali dari cerita anaknya. Dengarkan alasan mengapa ia bertengkar dengan temannya dan tanyakan bagaimana perasaannya saat bertengkar. Tanyakan pula, apa yang akan dia lakukan pada temannya selanjutnya, bagaimana pula caranya bila dia berbaikan, dan sebagainya. Beri arahan dan dukungan apa yang ingin dilakukan anak pada temannya sejauh hal itu positif. Jika ia memang memaafkan mungkin ia akan kembali lagi bermain dengan temannya. Jika tidak, orangtua hendaknya jangan memaksakan. Tunggu beberapa lama dan tanyakan kembali bagaimana kabar temannya itu. Kalau anak masih merasa kesal, orangtua bisa mengatakan, ”Enggak enak kan ya, Dek, kalau musuhan sama teman seperti itu.” Orangtua boleh membahasnya hingga timbul kesadaran dari si anak untuk mau kembali berteman.

Assalammualikum WR WB


bertengkarJika Kakak Adik Bertengkar
K alau disikapi dengan cara yang tepat, si kecil justru belajar banyak dari pertengkaran dengan saudaranya.
Anak balita juga sering berbeda pendapat, berbeda pandangan, dan berbeda pemahaman dengan saudaranya. Baik sang kakak, maupun adik. Tidak heran kalau ia sepertinya senang mengajak bertengkar. Apalagi sifat mau menang sendirinya masih kuat sehingga sulit diberi pengertian.
Pertengkaran ini dipengaruhi pula oleh kondisi emosi anak saat itu. Jika sedang kesal, capek, kecewa, dia jadi agak sensitif. Kesenggol sedikit saja tubuhnya bisa membuat si kecil marah. Bisa juga ketika si kakak bermaksud membenahi mainan si adik, tiba-tiba si adik marah karena menganggap kakak mengambil mainannya. Akhirnya bertengkarlah mereka.
Selain itu, bertengkar bisa merupakan salah satu cara anak prasekolah mencari perhatian. Tiba-tiba saja ia mengganggu kakaknya yang tengah asyik bermain dengan merecokinya. Si kakak pun jadi marah dan orangtua datang melerai. Dua reaksi tersebut dianggap sebagai perhatian terhadap dirinya.
CARA TEPAT MENYIKAPI
Pertengkaran antarsaudara tentu saja harus disikapi dengan tepat agar anak-anak dapat menarik pelajaran dari pertengkaran ini. Jadi, kehadiran orangtua bukan semata-mata bertujuan meredakan kegaduhan atau malah balik memarahi anak. Salah penanganan, anak akan berkembang menjadi pribadi yang lemah, tidak punya keberanian, tidak bisa membuat keputusan sendiri, mudah terpengaruh lingkungan, labil, dan kurang percaya diri.
Nah, seperti apa menyikapi pertengkaran anak dengan cara yang tepat itu? Inilah langkah-langkahnya:
1. Tidak terpancing emosi.
Siapa tahu memang tujuan si anak adalah memancing emosi orangtua, karena itu bersikaplah tenang. Jika sedang membaca buku ya teruskan saja membacanya, sambil tetap "buka mata dan pasang telinga lebar-lebar" alias tetap melakukan pengawasan. Sembunyikan rasa kesal dan emosi yang akan muncul, apalagi jika dalam kondisi capek. Begitu pun pada pengasuh di rumah, mintalah bersikap tenang dan tak terpancing emosi kala anak-anak sedang bertengkar. Berpikirlah bahwa mereka tengah belajar menyelesaikan konfliknya.
2. Leraikan/pisahkan anak jika terjadi kekerasan.
Bila pertengkarannya sampai pukul-memukul atau saling jambak rambut dan kekerasan lainnya, segera pisahkan keduanya. Tapi kalau bertengkarnya hanya sekadar debat mulut, orangtua cukup mengawasi dengan tetap diam. Biasanya jika orangtua diam atau tak bersikap berlebihan, pertengkaran tersebut akan berhenti dengan sendirinya. Setelah selesai bertengkar barulah dibahas bersama masalah bertengkarnya tadi.
3. Ajak bicara anak.
Setelah anak dileraikan atau bisa juga ketika si anak sudah selesai bertengkarnya dan agak tenang, minta masing- asing untuk duduk dan bicara di antara mereka tentang apa yang jadi masalah atau penyebabnya. Lakukan dialog.
Contoh:
Orangtua: ”Kenapa sih, kalian bertengkar terus, kepala Mama jadi pusing nih.“
Misalnya si kakak mengatakan: ”Iya, Ma tadi Adek duluan yang jadi gara-garanya.”
Orangtua: “Mama tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Mama juga enggak tahu masalahnya apa. Nah, sekarang coba kalian berdua bicaranya bergantian, tidak pakai pukul-pukulan.”
Di sini orangtua bersikap sebagai wasit yang hanya mengawasi dan membantu mengarahkan saja bagaimana kedua anak membahas masalah pertengkaran mereka.
4. Tidak mengintervensi.
Ketika anak bertengkar, orangtua jangan mengintervensi seperti, ”Sudah! Bisa diam enggak kalian?! Ayo, Adek minta maaf sama Kakak, dan Kakak ngalah sama adiknya!” Atau, misalnya si adik mengatakan, ”Kakak sih yang begitu, Ma,” orangtua jangan lantas mengintervensi dengan menegur si kakak, ”Kenapa sih, Kak? Kamu apakan adiknya?” Hindari intervensi semacam ini karena orangtua belum tahu masalahnya.
Jika orangtua selalu mengintervensi, berusaha mendamaikan anak, menentukan yang salah dan yang benar, membuatkan keputusan, maka anak takkan belajar untuk mencari jalan keluar dari konflik yang dihadapinya, juga tidak belajar mengambil keputusan sendiri. Jadi, biarkan saja anak saling mengungkapkan pendapatnya dan memperdebatkannya.
5. Beri arah dan penguatan untuk solusinya.
Selama antaranak mendebatkan masalahnya, orangtua tetap membantu memberikan arahan akan keputusan dari penyelesaian konfliknya. “Jadi, sekarang kalian sudah mengerti kan masalahnya. Nah, menurut kalian, sekarang masing-masing harus bagaimana?” Bisa saja si kakak mengatakan, ”Adek harus minta maaf sama aku.” Bila si adik setuju untuk minta maaf, tentu tak jadi soal. Tapi bagaimana kalau anak tak mau minta maaf karena mungkin ada rasa enggan atau gengsi melakukannya? Orangtua bisa mengatakan, “Kenapa Adek enggak mau minta maaf? Adek merasa malu ya? Enggak apa-apa kok, Dek. Kalau kita bersalah, kita memang harus minta maaf.” Jadi, orangtua sebatas memberikan penjelasan dan mengarahkan saja agar anak mau minta maaf tanpa ikut menentukan. Biarkan anak yang menentukan apa yang mau dia lakukan.
Jika anak tetap tak mau melakukannya tak masalah. Jangan dipaksakan karena anak nanti melakukannya bukan atas dasar kesadaran dirinya atau keputusannya sendiri melainkan karena rasa terpaksa. “Oke, jika itu pilihanmu, ya. Tapi sekarang sudah berbaikan dan bisa main bersama lagi, kan?” Biasanya setelah itu pun anak akan kembali main bersama dan lupa dengan pertengkaran yang terjadi. Untuk hal minta maaf ini sebaiknya orangtua dalam kesehari-harian menjadikan dirinya contoh bagi anak. Ketika orangtua melakukan kesalahan pada anak hendaknya tak segan-segan untuk meminta maaf pada anak. Dengan begitu, anak pun akan mudah meminta maaf jika ia melakukan suatu kesalahan.
TANGANI KONFLIK
Bila anak kerap bertengkar dan orangtua menyikapinya dengan langkah-langkah di atas secara konsisten, maka anak pun lama-lama akan belajar menyelesaikan konflik yang ada. Efek selanjutnya, pertengkaran yang kerap muncul lama-lama akan berkurang dan anak menemukan alternatif penyelesaian masalah tanpa bertengkar. Anak usia prasekolah bisa kok dilatih cara seperti ini.
Jadi, apabila pertengkaran anak disikapi dengan cara yang tepat, justru akan menjadi suatu pembelajaran bagi anak. Ketahuilah, bertengkar sebetulnya merupakan tingkat sosialisasi tertinggi antarsaudara. Mengapa? Karena merupakan proses saling mengenal dan memahami pribadi masing-masing. Mereka belajar untuk saling tahu kelemahan dan kekuatan masing-masing, sikap-sikap seperti apa yang disukai dan tidak dari saudaranya, dan lain sebagainya. Maka itu, kakak-adik yang ketika kecil sering bertengkar, biasanya saat dewasa memungkinkan hubungan mereka terjalin baik karena masing-masing sudah saling mengenal sifat dan perilakunya. Jadi, melalui bertengkar, anak belajar mengenal dirinya dan saudaranya.
Melalui bertengkar, anak juga belajar menyelesaikan masalah. Ingatlah, pertengkaran antarsaudara pada dasarnya merupakan masalah anak, bukan masalah orangtua. Itulah mengapa, ketika anak bertengkar, orangtua dianjurkan tidak ikut campur ataupun intervensi. Orangtua hanya membantu mengarahkan anak untuk mengatasi konflik yang terjadi dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Di sini anak belajar bagaimana caranya menyelesaikan masalah saat terjadi konflik. Pembelajaran ini merupakan suatu keterampilan sosial yang berguna bagi anak saat dewasa nanti. Jika ia berselisih paham dengan orang lain, ia akan tahu harus bersikap bagaimana dan mencari jalan keluar yang seperti apa.
Selain itu, dengan bertengkar, anak pun belajar mengendalikan diri. Yakni ketika orangtua memberikan contoh dengan bersikap tenang tanpa terpancing emosi saat anak-anaknya bertengkar. Orangtua meredakan pertengkaran anak-anaknya dengan mengajak mereka duduk untuk bicara. Di sini anak belajar bagaimana caranya mengendalikan diri dan mengelola emosinya. Anak diajarkan cara mengatasi konflik dengan cara lain tanpa kekerasan maupun kekuasaan.
Nah, bagaimana, Bu? Mudah-mudahan tidak pusing dan bingung lagi kalau si kecil bertengkar dengan saudaranya!
BERTENGKAR DENGAN TEMAN
Selain bertengkar dengan saudara, anak pun bisa bertengkar dengan teman, baik di lingkungan rumah maupun sekolah. Pada pertengkaran anak dengan temannya, orangtua harus selalu ingat bahwa yang bermasalah adalah si anak dengan temannya. Jadi, orangtua tidak boleh intervensi maupun turut campur. Jika sampai ikut campur biasanya urusan akan bertambah runyam. Contoh, Anton bertengkar dengan temannya, Todi, lalu orangtua Anton berkata kepada Todi, ”Kamu jangan berantem sama anak Tante, dong. Kan kasihan tuh, anak Tante hidungnya jadi berdarah.” Ketika Todi pulang ke rumahnya, dia mungkin akan mengatakan pada ibunya, ”Ma, aku tadi dimarahi sama mamanya Anton.” Bisa saja orangtua Todi tidak terima, lalu mendatangi orangtua Anton, sehingga akhirnya terjadilah pertengkaran antarorangtua. Tentunya ini akan menjadi contoh jelek bagi anak.
Bila saat kejadian anak bertengkar dengan temannya, orangtua tidak melihatnya, maka untuk membantu anak menyelesaikan konfliknya orangtua bisa menggali dari cerita anaknya. Dengarkan alasan mengapa ia bertengkar dengan temannya dan tanyakan bagaimana perasaannya saat bertengkar. Tanyakan pula, apa yang akan dia lakukan pada temannya selanjutnya, bagaimana pula caranya bila dia berbaikan, dan sebagainya. Beri arahan dan dukungan apa yang ingin dilakukan anak pada temannya sejauh hal itu positif. Jika ia memang memaafkan mungkin ia akan kembali lagi bermain dengan temannya. Jika tidak, orangtua hendaknya jangan memaksakan. Tunggu beberapa lama dan tanyakan kembali bagaimana kabar temannya itu. Kalau anak masih merasa kesal, orangtua bisa mengatakan, ”Enggak enak kan ya, Dek, kalau musuhan sama teman seperti itu.” Orangtua boleh membahasnya hingga timbul kesadaran dari si anak untuk mau kembali berteman
.

Berbohong, Atau Tidak Mengatakan Yang Sebenarnya

Assalammualikum WR WB

Berbohong, Atau Tidak Mengatakan Yang Sebenarnya

Google
ujungkelingking - Dalam kehidupan bersosial kita menyebut bila seseorang mengatakan hal yang tidak sebenarnya, maka kita menyebut dia seorang pembohong. Tapi bagaimana bila kita cuma tidak mengatakan yang sebenarnya. Disebut berbohongkah itu?

Mungkin lebih mudahnya dengan ilustrasi seperti ini,
Si Tono baru saja mengambil uang ibunya yang disimpan di dalam lemari baju. Menyadari uangnya hilang, si ibu langsung bertanya kepada Tono, "kamu mengambil uang ibu yang ada di lemari, No?" Si Tono menyahut, "tidak, bu!".

Tentu, kita sebut si Tono sedang berbohong karena jelas-jelas dia mengambil uang itu. Tapi coba bandingkan dengan -seandainya- jawaban Tono seperti berikut,
Menyadari uangnya hilang, si ibu langsung bertanya kepada Tono, "kamu mengambil uang ibu yang ada di lemari, No?" Si Tono menjawab, "saya sama sekali tidak masuk kamar ibu".

Tentu si ibu beranggapan bukan Tono yang mengambil uangnya. Lha masuk kamar saja tidak, apalagi sampai membuka lemari? Mungkin itu yang ada dalam pikiran si ibu. Padahal kenyataannya Tono menyuruh adiknya masuk kamar dan mengambil uang di dalam lemari.

Dalam konteks “saya tidak masuk kamar”, si Tono tentu tidak sedang berbohong karena –memang- kenyataan demikian. Dalam ilmu bahasa hal ini tidak salah. Tapi tentu menjadi tergesa-gesa bila menyimpulkan bukan Tono pelakunya karena jawaban Tono sama sekali tidak mengakomodir substansi pertanyaan.

Inilah yang kemudian saya takutkan digunakan oleh pejabat-pejabat yang tengah terjerat kasus korupsi. Bisa saja dia mengatakan –atau bersumpah- tidak pernah bertemu pejabat A, padahal mungkin saja pertemuan mereka lewat sms atau mesenger? Atau mereka keukeuh mengatakan bahwa tidak pernah menerima uang dari kurir B, padahal bisa saja “uang” yang dimaksud sudah dalam bentuk rumah mewah atau mobil sport mahhhal? (“h”nya sampe tiga lho!)

Mungkin ini menjadi tugas dari bapak-bapak jaksa penuntut agar memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tidak hanya mematikan jawaban tapi justru bisa menggiring terdakwa pada sebuah pengakuan.