Selasa, November 13, 2012

Cara Kerja Satu Per Satu atau sekaligus

Assalammualikum WR WB
Cara Kerja: Satu Per Satu atau Sekaligus?

Didukung teknologi modern, cara kerja multitasking lebih efektif dibandingkan singletasking .Benarkah?

Wajah Arin tampak berpeluh di ruangan kerjanya yang ber-AC. Padahal sebentar lagi, jarum jam sudah menunjukkan pukul 6 sore sementara tumpukan tugasnya belum selesai. Menurut rekan kerjanya, Arin memang tipe pekerja singletasking yang tak bisa mengerjakan tumpukan tugas sekaligus.

Banyak orang menganggap bekerja secara multitasking jauh lebih baik karena menghemat waktu. Tumpukan tugas juga bisa “dibereskan” pada waktu bersamaan. Tapi, benarkah bekerja multitasking lebih baik ketimbang singletasking ?

Menurut Elly Nagasaputra, MK. , baik atau jelek sangat relatif. “Tidak semua orang bisa bekerja multitasking , dan sebaliknya. Sementara output atau hasil kerja bisa sama,” katanya. Terlebih lagi, otak manusia pada dasarnya bukan komputer yang bisa mengerjakan banyak hal pada saat yang bersamaan.

Teknologi memang kerap dihubungkan dengan multitasking . Istilah multitasking juga baru muncul sekitar satu dekade belakangan dan ini merunut pada istilah prosesor komputer yang makin canggih serta mampu mengerjakan banyak hal pada waktu bersamaan. “Istilah ini kemudian dipakai pada manusia,” ujar Family and Life Counselor dari www.konselingkeluarga.com ini.

Seolah-olah, lanjut Elly, seorang multitasker mampu menyelesaikan banyak tugas pada waktu yang bersamaan. “Padahal, yang terjadi mengerjakan banyak hal satu demi satu juga. Misalnya, browsing materi di laptop, kemudian membaca BBM, membalas SMS, dan seterusnya. Sepertinya melakukan hal banyak, padahal tidak,” paparnya.

Tuntutan Zaman

Menurut penelitian, wanita memang memiliki kemampuan multitasking . Berbeda dengan pria yang lebih banyak bertipe singletasking . Oleh karena itu, laki-laki umumnya lebih fokus ketika mengerjakan tugas dan hasilnya pun bisa lebih maksimal. Akibatnya, kerap muncul perbedaan persepsi antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga, bahkan sampai memicu konflik. “Si Istri menganggap suami enggak mau mengerjakan hal lain, padahal ia tipenya memang single tasker ,” jelasnya lagi.

Survei sendiri menunjukkan, bekerja multitasking tidak terlalu efektif. Pasalnya, fokus mengerjakan satu hal dianggap jauh lebih efektif dan optimal ketimbang mengerjakan banyak hal pada waktu bersamaan. Namun, di sisi lain, “Zaman sekarang juga tidak bisa murni singletasking , pasti ada multitasking- nya,” kata Elly.

Lagi pula, lanjutnya, ada beberapa jenis tugas atau pekerjaan yang memang tidak bisa dilakukan secara multitasking karena berisiko. Misalnya, menyetir sambil membalas SMS. “Bekerja secara multitasking oke-oke saja, asalkan tetap menakar kemampuan diri. Jangan sampai energi habis tersedot karena bekerja secara multitasking , sementara output -nya justru tidak memuaskan. Yang penting, bagaimana kita menakar dosis dan kemampuan sendiri,” tambahnya.

Kemajuan teknologi belakangan ini juga makin meningkatkan tuntutan untuk ber-multitasking . Teknologi membuat suasana seolah-olah semua orang harus bisa bekerja secara multitasking . Toh, semua yang diperlukan sudah ada di dalam genggaman piranti canggih. “Laptop bisa ditenteng ke mana-mana, tablet, iPad, smartphone , dan sebagainya. Sambil meeting bisa membalas e-mail atau melakukan deal dengan klien,” tambah Elly.

Perlu “Me Time”

Meski teknologi seakan-akan memudahkan bekerja multitasking , Elly menekankan perlunya berhati-hati dalam memanfaatkan kemajuan teknologi. Pasalnya, bekerja multitasking dengan piranti canggih atau gadget tentu harus kenal waktu dan tempat.

Di rumah, sebisa mungkin berhenti ber-gadget , apalagi kalau untuk urusan sepele. Urusan pekerjaan atau tugas, sebisa mungkin tidak dibawa ke rumah karena di rumah adalah waktu untuk keluarga. Sayangnya, yang kerap terjadi, begitu sampai rumah, orang langsung membuka laptop, membalas e-mail , atau bahkan nge-twit semalaman. Padahal di saat yang sama, mereka tengah bermain bersama anak.

Elly juga mengingatkan soal ber-gadget di depan anak-anak, “Jangan salah, anak-anak itu sangat memperhatikan apa yang dilakukan orangtuanya. Jadi, jangan salahkan mereka kalau besarnya nanti juga akan seperti itu,” tegas Elly. Contoh lain ketika berlibur. “Sudah tahu lagi liburan tapi malah asyik dengan laptop dan HP (handphone , Red).”

Selain hubungan dengan keluarga dan anak, Elly juga mengingatkan perlunya manusia akan “me time ,” tanpa terikat pada gadget . “Handphone atau BB ketinggalan aja sudah bingung bukan main. Betapa itu melelahkan secara jiwa,” ujarnya. Padahal, manusia juga butuh ketenangan. You have to be with yourself ,” urai Elly. Maka, Elly menyarankan, agar kita pintar-pintar mencari keseimbangan. “Harus ada waktu di mana kita bisa calm down , memikirkan diri sendiri,” tambahnya.

Mitos Multitasking

1 Multitasking membuat kita bisa mengerjakan lebih banyak pekerjaan.

Bisa benar, bisa tidak. Mengerjakan satu demi satu tugas memang membutuhkan waktu lama. Namun yang harus diingat, manusia itu spesifik dan unik. Tidak setiap orang mampu melakukan pekerjaan secara multitasking. Kalaupun dipaksakan, hasilnya bisa saja malah tidak maksimal. Survei Microsoft justru menunjukkan bahwa mengerjakan satu tugas dan fokus ternyata selesai lebih cepat dibandingkan mengerjakan secara multitasking. Hasilnya pun lebih baik ketika seseorang benar-benar fokus mengerjakannya.

2 Multitasking hemat waktu.

Tidak tepat. Kembali lagi ke fungsi otak manusia, di mana otak butuh waktu beberapa detik untuk kembali ke pekerjaan sebelumnya saat ia bekerja multitasking. Manusia juga bukan komputer, ia tidak bisa memproses informasi dengan cepat. “Perlu jeda, perlu waktu untuk mengolah dan berpikir,“ lanjut Elly. Bekerja multitasking juga tak optimal meski cepat selesai. Di sebuah artikel di New York Times tahun 2007, David E. Meyer, Direktur Brain, Cognition, and Action Laboratory mengungkapkan, bisa saja terjadi banyak kesalahan. Akibatnya, pekerjaan harus dikoreksi lagi. Alhasil, total waktu yang diperlukan menjadi lebih lama.

3 Multitasking tidak merugikan siapa-siapa.

Pernyataan ini harus dicek ulang. Terkadang, bekerja multitasking juga bisa merugikan diri sendiri dan juga orang lain. Contoh paling jelas adalah menyetir sambil menelepon atau membalas SMS. Meski tuntutan zaman memang tidak bisa murni singletasking, Anda tetap harus “berhitung” saat melakukan multitasking. “Kalau masih wajar dan output yang kita hasilkan masih termonitor, baik kualitas maupun kebutuhan waktunya, ya tidak masalah. Tapi, kalau dengan multitasking, pekerjaan malah terbengkalai, sebaiknya tidak usah,” lanjut Elly.

Tidak ada komentar: