Assalammualikum WR WB
K alau disikapi dengan cara yang tepat, si kecil justru belajar banyak dari pertengkaran dengan saudaranya.
Anak balita juga sering berbeda pendapat, berbeda pandangan, dan berbeda pemahaman dengan saudaranya. Baik sang kakak, maupun adik. Tidak heran kalau ia sepertinya senang mengajak bertengkar. Apalagi sifat mau menang sendirinya masih kuat sehingga sulit diberi pengertian.
Pertengkaran ini dipengaruhi pula oleh kondisi emosi anak saat itu. Jika sedang kesal, capek, kecewa, dia jadi agak sensitif. Kesenggol sedikit saja tubuhnya bisa membuat si kecil marah. Bisa juga ketika si kakak bermaksud membenahi mainan si adik, tiba-tiba si adik marah karena menganggap kakak mengambil mainannya. Akhirnya bertengkarlah mereka.
Selain itu, bertengkar bisa merupakan salah satu cara anak prasekolah mencari perhatian. Tiba-tiba saja ia mengganggu kakaknya yang tengah asyik bermain dengan merecokinya. Si kakak pun jadi marah dan orangtua datang melerai. Dua reaksi tersebut dianggap sebagai perhatian terhadap dirinya.
CARA TEPAT MENYIKAPI
Pertengkaran antarsaudara tentu saja harus disikapi dengan tepat agar anak-anak dapat menarik pelajaran dari pertengkaran ini. Jadi, kehadiran orangtua bukan semata-mata bertujuan meredakan kegaduhan atau malah balik memarahi anak. Salah penanganan, anak akan berkembang menjadi pribadi yang lemah, tidak punya keberanian, tidak bisa membuat keputusan sendiri, mudah terpengaruh lingkungan, labil, dan kurang percaya diri.
Nah, seperti apa menyikapi pertengkaran anak dengan cara yang tepat itu? Inilah langkah-langkahnya:
1. Tidak terpancing emosi.
Siapa tahu memang tujuan si anak adalah memancing emosi orangtua, karena itu bersikaplah tenang. Jika sedang membaca buku ya teruskan saja membacanya, sambil tetap "buka mata dan pasang telinga lebar-lebar" alias tetap melakukan pengawasan. Sembunyikan rasa kesal dan emosi yang akan muncul, apalagi jika dalam kondisi capek. Begitu pun pada pengasuh di rumah, mintalah bersikap tenang dan tak terpancing emosi kala anak-anak sedang bertengkar. Berpikirlah bahwa mereka tengah belajar menyelesaikan konfliknya.
2. Leraikan/pisahkan anak jika terjadi kekerasan.
Bila pertengkarannya sampai pukul-memukul atau saling jambak rambut dan kekerasan lainnya, segera pisahkan keduanya. Tapi kalau bertengkarnya hanya sekadar debat mulut, orangtua cukup mengawasi dengan tetap diam. Biasanya jika orangtua diam atau tak bersikap berlebihan, pertengkaran tersebut akan berhenti dengan sendirinya. Setelah selesai bertengkar barulah dibahas bersama masalah bertengkarnya tadi.
3. Ajak bicara anak.
Setelah anak dileraikan atau bisa juga ketika si anak sudah selesai bertengkarnya dan agak tenang, minta masing- asing untuk duduk dan bicara di antara mereka tentang apa yang jadi masalah atau penyebabnya. Lakukan dialog.
Contoh:
Orangtua: ”Kenapa sih, kalian bertengkar terus, kepala Mama jadi pusing nih.“
Misalnya si kakak mengatakan: ”Iya, Ma tadi Adek duluan yang jadi gara-garanya.”
Orangtua: “Mama tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Mama juga enggak tahu masalahnya apa. Nah, sekarang coba kalian berdua bicaranya bergantian, tidak pakai pukul-pukulan.”
Di sini orangtua bersikap sebagai wasit yang hanya mengawasi dan membantu mengarahkan saja bagaimana kedua anak membahas masalah pertengkaran mereka.
4. Tidak mengintervensi.
Ketika anak bertengkar, orangtua jangan mengintervensi seperti, ”Sudah! Bisa diam enggak kalian?! Ayo, Adek minta maaf sama Kakak, dan Kakak ngalah sama adiknya!” Atau, misalnya si adik mengatakan, ”Kakak sih yang begitu, Ma,” orangtua jangan lantas mengintervensi dengan menegur si kakak, ”Kenapa sih, Kak? Kamu apakan adiknya?” Hindari intervensi semacam ini karena orangtua belum tahu masalahnya.
Jika orangtua selalu mengintervensi, berusaha mendamaikan anak, menentukan yang salah dan yang benar, membuatkan keputusan, maka anak takkan belajar untuk mencari jalan keluar dari konflik yang dihadapinya, juga tidak belajar mengambil keputusan sendiri. Jadi, biarkan saja anak saling mengungkapkan pendapatnya dan memperdebatkannya.
5. Beri arah dan penguatan untuk solusinya.
Selama antaranak mendebatkan masalahnya, orangtua tetap membantu memberikan arahan akan keputusan dari penyelesaian konfliknya. “Jadi, sekarang kalian sudah mengerti kan masalahnya. Nah, menurut kalian, sekarang masing-masing harus bagaimana?” Bisa saja si kakak mengatakan, ”Adek harus minta maaf sama aku.” Bila si adik setuju untuk minta maaf, tentu tak jadi soal. Tapi bagaimana kalau anak tak mau minta maaf karena mungkin ada rasa enggan atau gengsi melakukannya? Orangtua bisa mengatakan, “Kenapa Adek enggak mau minta maaf? Adek merasa malu ya? Enggak apa-apa kok, Dek. Kalau kita bersalah, kita memang harus minta maaf.” Jadi, orangtua sebatas memberikan penjelasan dan mengarahkan saja agar anak mau minta maaf tanpa ikut menentukan. Biarkan anak yang menentukan apa yang mau dia lakukan.
Jika anak tetap tak mau melakukannya tak masalah. Jangan dipaksakan karena anak nanti melakukannya bukan atas dasar kesadaran dirinya atau keputusannya sendiri melainkan karena rasa terpaksa. “Oke, jika itu pilihanmu, ya. Tapi sekarang sudah berbaikan dan bisa main bersama lagi, kan?” Biasanya setelah itu pun anak akan kembali main bersama dan lupa dengan pertengkaran yang terjadi. Untuk hal minta maaf ini sebaiknya orangtua dalam kesehari-harian menjadikan dirinya contoh bagi anak. Ketika orangtua melakukan kesalahan pada anak hendaknya tak segan-segan untuk meminta maaf pada anak. Dengan begitu, anak pun akan mudah meminta maaf jika ia melakukan suatu kesalahan.
TANGANI KONFLIK
Bila anak kerap bertengkar dan orangtua menyikapinya dengan langkah-langkah di atas secara konsisten, maka anak pun lama-lama akan belajar menyelesaikan konflik yang ada. Efek selanjutnya, pertengkaran yang kerap muncul lama-lama akan berkurang dan anak menemukan alternatif penyelesaian masalah tanpa bertengkar. Anak usia prasekolah bisa kok dilatih cara seperti ini.
Jadi, apabila pertengkaran anak disikapi dengan cara yang tepat, justru akan menjadi suatu pembelajaran bagi anak. Ketahuilah, bertengkar sebetulnya merupakan tingkat sosialisasi tertinggi antarsaudara. Mengapa? Karena merupakan proses saling mengenal dan memahami pribadi masing-masing. Mereka belajar untuk saling tahu kelemahan dan kekuatan masing-masing, sikap-sikap seperti apa yang disukai dan tidak dari saudaranya, dan lain sebagainya. Maka itu, kakak-adik yang ketika kecil sering bertengkar, biasanya saat dewasa memungkinkan hubungan mereka terjalin baik karena masing-masing sudah saling mengenal sifat dan perilakunya. Jadi, melalui bertengkar, anak belajar mengenal dirinya dan saudaranya.
Melalui bertengkar, anak juga belajar menyelesaikan masalah. Ingatlah, pertengkaran antarsaudara pada dasarnya merupakan masalah anak, bukan masalah orangtua. Itulah mengapa, ketika anak bertengkar, orangtua dianjurkan tidak ikut campur ataupun intervensi. Orangtua hanya membantu mengarahkan anak untuk mengatasi konflik yang terjadi dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Di sini anak belajar bagaimana caranya menyelesaikan masalah saat terjadi konflik. Pembelajaran ini merupakan suatu keterampilan sosial yang berguna bagi anak saat dewasa nanti. Jika ia berselisih paham dengan orang lain, ia akan tahu harus bersikap bagaimana dan mencari jalan keluar yang seperti apa.
Selain itu, dengan bertengkar, anak pun belajar mengendalikan diri. Yakni ketika orangtua memberikan contoh dengan bersikap tenang tanpa terpancing emosi saat anak-anaknya bertengkar. Orangtua meredakan pertengkaran anak-anaknya dengan mengajak mereka duduk untuk bicara. Di sini anak belajar bagaimana caranya mengendalikan diri dan mengelola emosinya. Anak diajarkan cara mengatasi konflik dengan cara lain tanpa kekerasan maupun kekuasaan.
Nah, bagaimana, Bu? Mudah-mudahan tidak pusing dan bingung lagi kalau si kecil bertengkar dengan saudaranya!
BERTENGKAR DENGAN TEMAN
Selain bertengkar dengan saudara, anak pun bisa bertengkar dengan teman, baik di lingkungan rumah maupun sekolah. Pada pertengkaran anak dengan temannya, orangtua harus selalu ingat bahwa yang bermasalah adalah si anak dengan temannya. Jadi, orangtua tidak boleh intervensi maupun turut campur. Jika sampai ikut campur biasanya urusan akan bertambah runyam. Contoh, Anton bertengkar dengan temannya, Todi, lalu orangtua Anton berkata kepada Todi, ”Kamu jangan berantem sama anak Tante, dong. Kan kasihan tuh, anak Tante hidungnya jadi berdarah.” Ketika Todi pulang ke rumahnya, dia mungkin akan mengatakan pada ibunya, ”Ma, aku tadi dimarahi sama mamanya Anton.” Bisa saja orangtua Todi tidak terima, lalu mendatangi orangtua Anton, sehingga akhirnya terjadilah pertengkaran antarorangtua. Tentunya ini akan menjadi contoh jelek bagi anak.
Bila saat kejadian anak bertengkar dengan temannya, orangtua tidak melihatnya, maka untuk membantu anak menyelesaikan konfliknya orangtua bisa menggali dari cerita anaknya. Dengarkan alasan mengapa ia bertengkar dengan temannya dan tanyakan bagaimana perasaannya saat bertengkar. Tanyakan pula, apa yang akan dia lakukan pada temannya selanjutnya, bagaimana pula caranya bila dia berbaikan, dan sebagainya. Beri arahan dan dukungan apa yang ingin dilakukan anak pada temannya sejauh hal itu positif. Jika ia memang memaafkan mungkin ia akan kembali lagi bermain dengan temannya. Jika tidak, orangtua hendaknya jangan memaksakan. Tunggu beberapa lama dan tanyakan kembali bagaimana kabar temannya itu. Kalau anak masih merasa kesal, orangtua bisa mengatakan, ”Enggak enak kan ya, Dek, kalau musuhan sama teman seperti itu.” Orangtua boleh membahasnya hingga timbul kesadaran dari si anak untuk mau kembali berteman
.
Anak balita juga sering berbeda pendapat, berbeda pandangan, dan berbeda pemahaman dengan saudaranya. Baik sang kakak, maupun adik. Tidak heran kalau ia sepertinya senang mengajak bertengkar. Apalagi sifat mau menang sendirinya masih kuat sehingga sulit diberi pengertian.
Pertengkaran ini dipengaruhi pula oleh kondisi emosi anak saat itu. Jika sedang kesal, capek, kecewa, dia jadi agak sensitif. Kesenggol sedikit saja tubuhnya bisa membuat si kecil marah. Bisa juga ketika si kakak bermaksud membenahi mainan si adik, tiba-tiba si adik marah karena menganggap kakak mengambil mainannya. Akhirnya bertengkarlah mereka.
Selain itu, bertengkar bisa merupakan salah satu cara anak prasekolah mencari perhatian. Tiba-tiba saja ia mengganggu kakaknya yang tengah asyik bermain dengan merecokinya. Si kakak pun jadi marah dan orangtua datang melerai. Dua reaksi tersebut dianggap sebagai perhatian terhadap dirinya.
CARA TEPAT MENYIKAPI
Pertengkaran antarsaudara tentu saja harus disikapi dengan tepat agar anak-anak dapat menarik pelajaran dari pertengkaran ini. Jadi, kehadiran orangtua bukan semata-mata bertujuan meredakan kegaduhan atau malah balik memarahi anak. Salah penanganan, anak akan berkembang menjadi pribadi yang lemah, tidak punya keberanian, tidak bisa membuat keputusan sendiri, mudah terpengaruh lingkungan, labil, dan kurang percaya diri.
Nah, seperti apa menyikapi pertengkaran anak dengan cara yang tepat itu? Inilah langkah-langkahnya:
1. Tidak terpancing emosi.
Siapa tahu memang tujuan si anak adalah memancing emosi orangtua, karena itu bersikaplah tenang. Jika sedang membaca buku ya teruskan saja membacanya, sambil tetap "buka mata dan pasang telinga lebar-lebar" alias tetap melakukan pengawasan. Sembunyikan rasa kesal dan emosi yang akan muncul, apalagi jika dalam kondisi capek. Begitu pun pada pengasuh di rumah, mintalah bersikap tenang dan tak terpancing emosi kala anak-anak sedang bertengkar. Berpikirlah bahwa mereka tengah belajar menyelesaikan konfliknya.
2. Leraikan/pisahkan anak jika terjadi kekerasan.
Bila pertengkarannya sampai pukul-memukul atau saling jambak rambut dan kekerasan lainnya, segera pisahkan keduanya. Tapi kalau bertengkarnya hanya sekadar debat mulut, orangtua cukup mengawasi dengan tetap diam. Biasanya jika orangtua diam atau tak bersikap berlebihan, pertengkaran tersebut akan berhenti dengan sendirinya. Setelah selesai bertengkar barulah dibahas bersama masalah bertengkarnya tadi.
3. Ajak bicara anak.
Setelah anak dileraikan atau bisa juga ketika si anak sudah selesai bertengkarnya dan agak tenang, minta masing- asing untuk duduk dan bicara di antara mereka tentang apa yang jadi masalah atau penyebabnya. Lakukan dialog.
Contoh:
Orangtua: ”Kenapa sih, kalian bertengkar terus, kepala Mama jadi pusing nih.“
Misalnya si kakak mengatakan: ”Iya, Ma tadi Adek duluan yang jadi gara-garanya.”
Orangtua: “Mama tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Mama juga enggak tahu masalahnya apa. Nah, sekarang coba kalian berdua bicaranya bergantian, tidak pakai pukul-pukulan.”
Di sini orangtua bersikap sebagai wasit yang hanya mengawasi dan membantu mengarahkan saja bagaimana kedua anak membahas masalah pertengkaran mereka.
4. Tidak mengintervensi.
Ketika anak bertengkar, orangtua jangan mengintervensi seperti, ”Sudah! Bisa diam enggak kalian?! Ayo, Adek minta maaf sama Kakak, dan Kakak ngalah sama adiknya!” Atau, misalnya si adik mengatakan, ”Kakak sih yang begitu, Ma,” orangtua jangan lantas mengintervensi dengan menegur si kakak, ”Kenapa sih, Kak? Kamu apakan adiknya?” Hindari intervensi semacam ini karena orangtua belum tahu masalahnya.
Jika orangtua selalu mengintervensi, berusaha mendamaikan anak, menentukan yang salah dan yang benar, membuatkan keputusan, maka anak takkan belajar untuk mencari jalan keluar dari konflik yang dihadapinya, juga tidak belajar mengambil keputusan sendiri. Jadi, biarkan saja anak saling mengungkapkan pendapatnya dan memperdebatkannya.
5. Beri arah dan penguatan untuk solusinya.
Selama antaranak mendebatkan masalahnya, orangtua tetap membantu memberikan arahan akan keputusan dari penyelesaian konfliknya. “Jadi, sekarang kalian sudah mengerti kan masalahnya. Nah, menurut kalian, sekarang masing-masing harus bagaimana?” Bisa saja si kakak mengatakan, ”Adek harus minta maaf sama aku.” Bila si adik setuju untuk minta maaf, tentu tak jadi soal. Tapi bagaimana kalau anak tak mau minta maaf karena mungkin ada rasa enggan atau gengsi melakukannya? Orangtua bisa mengatakan, “Kenapa Adek enggak mau minta maaf? Adek merasa malu ya? Enggak apa-apa kok, Dek. Kalau kita bersalah, kita memang harus minta maaf.” Jadi, orangtua sebatas memberikan penjelasan dan mengarahkan saja agar anak mau minta maaf tanpa ikut menentukan. Biarkan anak yang menentukan apa yang mau dia lakukan.
Jika anak tetap tak mau melakukannya tak masalah. Jangan dipaksakan karena anak nanti melakukannya bukan atas dasar kesadaran dirinya atau keputusannya sendiri melainkan karena rasa terpaksa. “Oke, jika itu pilihanmu, ya. Tapi sekarang sudah berbaikan dan bisa main bersama lagi, kan?” Biasanya setelah itu pun anak akan kembali main bersama dan lupa dengan pertengkaran yang terjadi. Untuk hal minta maaf ini sebaiknya orangtua dalam kesehari-harian menjadikan dirinya contoh bagi anak. Ketika orangtua melakukan kesalahan pada anak hendaknya tak segan-segan untuk meminta maaf pada anak. Dengan begitu, anak pun akan mudah meminta maaf jika ia melakukan suatu kesalahan.
TANGANI KONFLIK
Bila anak kerap bertengkar dan orangtua menyikapinya dengan langkah-langkah di atas secara konsisten, maka anak pun lama-lama akan belajar menyelesaikan konflik yang ada. Efek selanjutnya, pertengkaran yang kerap muncul lama-lama akan berkurang dan anak menemukan alternatif penyelesaian masalah tanpa bertengkar. Anak usia prasekolah bisa kok dilatih cara seperti ini.
Jadi, apabila pertengkaran anak disikapi dengan cara yang tepat, justru akan menjadi suatu pembelajaran bagi anak. Ketahuilah, bertengkar sebetulnya merupakan tingkat sosialisasi tertinggi antarsaudara. Mengapa? Karena merupakan proses saling mengenal dan memahami pribadi masing-masing. Mereka belajar untuk saling tahu kelemahan dan kekuatan masing-masing, sikap-sikap seperti apa yang disukai dan tidak dari saudaranya, dan lain sebagainya. Maka itu, kakak-adik yang ketika kecil sering bertengkar, biasanya saat dewasa memungkinkan hubungan mereka terjalin baik karena masing-masing sudah saling mengenal sifat dan perilakunya. Jadi, melalui bertengkar, anak belajar mengenal dirinya dan saudaranya.
Melalui bertengkar, anak juga belajar menyelesaikan masalah. Ingatlah, pertengkaran antarsaudara pada dasarnya merupakan masalah anak, bukan masalah orangtua. Itulah mengapa, ketika anak bertengkar, orangtua dianjurkan tidak ikut campur ataupun intervensi. Orangtua hanya membantu mengarahkan anak untuk mengatasi konflik yang terjadi dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Di sini anak belajar bagaimana caranya menyelesaikan masalah saat terjadi konflik. Pembelajaran ini merupakan suatu keterampilan sosial yang berguna bagi anak saat dewasa nanti. Jika ia berselisih paham dengan orang lain, ia akan tahu harus bersikap bagaimana dan mencari jalan keluar yang seperti apa.
Selain itu, dengan bertengkar, anak pun belajar mengendalikan diri. Yakni ketika orangtua memberikan contoh dengan bersikap tenang tanpa terpancing emosi saat anak-anaknya bertengkar. Orangtua meredakan pertengkaran anak-anaknya dengan mengajak mereka duduk untuk bicara. Di sini anak belajar bagaimana caranya mengendalikan diri dan mengelola emosinya. Anak diajarkan cara mengatasi konflik dengan cara lain tanpa kekerasan maupun kekuasaan.
Nah, bagaimana, Bu? Mudah-mudahan tidak pusing dan bingung lagi kalau si kecil bertengkar dengan saudaranya!
BERTENGKAR DENGAN TEMAN
Selain bertengkar dengan saudara, anak pun bisa bertengkar dengan teman, baik di lingkungan rumah maupun sekolah. Pada pertengkaran anak dengan temannya, orangtua harus selalu ingat bahwa yang bermasalah adalah si anak dengan temannya. Jadi, orangtua tidak boleh intervensi maupun turut campur. Jika sampai ikut campur biasanya urusan akan bertambah runyam. Contoh, Anton bertengkar dengan temannya, Todi, lalu orangtua Anton berkata kepada Todi, ”Kamu jangan berantem sama anak Tante, dong. Kan kasihan tuh, anak Tante hidungnya jadi berdarah.” Ketika Todi pulang ke rumahnya, dia mungkin akan mengatakan pada ibunya, ”Ma, aku tadi dimarahi sama mamanya Anton.” Bisa saja orangtua Todi tidak terima, lalu mendatangi orangtua Anton, sehingga akhirnya terjadilah pertengkaran antarorangtua. Tentunya ini akan menjadi contoh jelek bagi anak.
Bila saat kejadian anak bertengkar dengan temannya, orangtua tidak melihatnya, maka untuk membantu anak menyelesaikan konfliknya orangtua bisa menggali dari cerita anaknya. Dengarkan alasan mengapa ia bertengkar dengan temannya dan tanyakan bagaimana perasaannya saat bertengkar. Tanyakan pula, apa yang akan dia lakukan pada temannya selanjutnya, bagaimana pula caranya bila dia berbaikan, dan sebagainya. Beri arahan dan dukungan apa yang ingin dilakukan anak pada temannya sejauh hal itu positif. Jika ia memang memaafkan mungkin ia akan kembali lagi bermain dengan temannya. Jika tidak, orangtua hendaknya jangan memaksakan. Tunggu beberapa lama dan tanyakan kembali bagaimana kabar temannya itu. Kalau anak masih merasa kesal, orangtua bisa mengatakan, ”Enggak enak kan ya, Dek, kalau musuhan sama teman seperti itu.” Orangtua boleh membahasnya hingga timbul kesadaran dari si anak untuk mau kembali berteman
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar